Kapas kapuk dari bantal mungil itu beterbangan memenuhi kamar yang dijadikan sebagai ajang “Perang Bantal” oleh Elena dan Sabrina, sepasang teman yang telah sepuluh tahun menjalin persahabatan tanpa ada pertengkaran yang berarti. Ranjang, meja, kursi, lantai dan seluruh perabot yang ada di kamar Elena tampak putiih oleh kapas kapuk. Ini bukan kali pertama kedua gadis itu saling pukul dengan bantal untuk mempertahankan argumen masing-masing. Tak ada permusuhan, yang ada hanya tawa.
Beberapa saat setelah gencatan senjata, Elena dan Sabrina terpaku ketika melihat sekeling mereka yang telah penuh dengan kapas kapuk. Yang terpikir oleh mereka adalah kerja bakti untuk membersihkan kamar agar kembali seperti sedia kala. Terakhir kalinya berperang bantal, mereka sepakat untuk tidak melakukannya lagi karena keduannya kelelahan setelah membersihkan kamar yang telah porak poranda oleh peluru kapuk salah sasaran. Kenyataannya mereka harus bercapek-capek kembali untuk merapikan kamar Elena bila tidak ingin di semprot mama Elena yang selalu mengomel apabila melihat sesuatu yang berantakan di rumahnya. “Aku nyerah”kata Elena sembari mengangkat kedua tangannya. Nafasnya naik turun. “Berarti aku yang menang” Sabrina menyahuti. Elena pasrah, tapi kemudian tertawa kegelian melihat wajah dan rambut Sabrina yang tertutupi oleh kapas kapuk. “Pantesan kamu ngejombloh terus. Cowok pada takut melihat wajahmu yang seperti hantu itu”olok Elena sembari menahan tawa. “Sontoloyo” umpat Sabrina. “Aku nggak dapat pacar karena memang aku jelek, tapi lihat dirimu sendiri! cantik, seksi, kulit putih dan mulus, baik pula, tapi sayang……. Ngejombloh juga. Jadi sebenarnya kamulah yang lebih sial ketimbang aku. Hahaha…..” Sabrina tertawa hingga tubuhnya terguncang-guncang. Cewek bertubuh subur yang konon bisa meramal ini terduduk lunglai tatkala tawanya mereda. “Kamu benar…….. Rasanya aku nggak terlalu jelek-jelek amat, tapi mengapa nggak ada satu cowokpun yang mau menjadikan aku pacar. Bahkan aku sudah hampir lulus SMU belum pernah merasakan pacaran, apalagi berciuman. Kasihan deh gue!” Elena beranjak mendekati sahabat karibnya yang asik membersihkan wajahnya dari kapas kapuk. “Sampai kapan aku nggak punya pacar? Bosan jomloh terus. Ramal dong, kapan aku mempunyai pacar?” pintanya manja. Sabrina mengatur nafas, sisa-sisa tawanya masih sesekali muncul tanpa sebab. “Aku sudah lama tidak bisa meramal lagi. Aku insyaf” jawab Sabrina sekenanya. “Kamu
kan
sudah lama nggak ngeramal aku. Siapa tahu ramalanmu tentangku kali ini lebih baik dari ramalan-ramalan sebelumnya. Mau dong ya…………..?” Elena merengek seperti anak kecil. Sabrina masih diam tak mengubris, namun beberapa saat kemudian Elena menarik tangannya, melompat turun dari ranjang. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Sabrina mengikuti kemauan Elena tanpa berontak. “Kemampuan meramalku sudah lama hilang. Pantangannya sudah kulanggar. So, aku nggak bisa ngeramal lagi sekarang” Sabrina membuat alasan agar tidak dipaksa untuk meramal sahabat karipnya itu. “Emang kamu sudah dikutuk jadi kerbau sehingga nggak bisa meramal lagi? Siapa yang percaya kalau kamu sudah tidak bisa meramal lagi?” Elena membersihkan kapas kapuk yang nongkrong di meja rias dengan tangannya. Beberapa kali ia mengibaskan tangan namun sia-sia karena kapuk yang ada di rambut dan tubuh mereka kembali mengotori meja yang akan dijadikan tempat meramal. Elena menyerah, dibiarkan meja yang masih penuh dengan kapas kapuk kemudian meraih sekotak kartu Tarot tanpa memperdulikan kondisi meja yang berantakan. Diserahkan kartu-kartu itu kepada Sabrina namun ia menerimanya kembali setelah kartu itu dikocok Sabrina. “Kamu yang harus mengocok sendiri” jelas Sabrina.tanpa ba-bi-bu Elena mengocok kartu-kartu itu dengan seksama. “Ramalanku sudah nggak jitu lagi” Sabrina masih berusaha untuk membatalkan ritual itu yang dulu kerap meraka lakukan sekedar menghabiskan waktu di musim liburan. Elena tak menggubrisnya, setelah kartu dikocok, iapun membaginya menjadi empat baris tiga kolom sehingga ada dua belas kartu yang masih tertutup yang berjajar rapi di meja, sedangkan sisanya dibiarkan bertumpuk. Ia sudah sangat hafal dengan prosesi peramalan versi Sabrina. Ia tidak akan melupakan tahap-tahap yang harus di laluinya. Iapun segera membuka salah satu kartu untuk diramal oleh peramal kelas kelinci yang belum teruji kepiawaiannya itu. “Waduh…!” kata Sabrina setelah melihat kartu pertama yang terbuka. “Kenapa….? Bagus atau buruk?” tanya Elena penasaran. Sabrina tidak segera menjawab. Ia tidak melihat sisi buruknya dari kartu itu, tidak pula sisi baiknya. Yang ia tahu adalah bahwa ia benar-benar sudah tidak mempunyai kemampuan dalam meramal lagi. “Waduh…..” katanya mengulang. “Kenapa?” Elena ikut mengulang. “Sebentar! Aku cari tahu dulu maksud dari kartu ini”. Sabrina mulai berdalih untuk menutupi kemampuan meramalnya yang mulai luntur. Ia benar-benar lupa cara membaca kartu yang telah diajarkan tantenya ketika ia bertandang ke
Manado
. “bersyukurlah! Sebentar lagi kamu akan bertemu dengan cowok yang sesuai keinginanmu. Ia tinggi, cakep dan pendiam seperti yang selama ini kamu impikan” kata Sabrina mengarang. Ia takut mengecewakan sahabatnya apabila terus terang atas hilangnya kemampuannya setelah Elena benar-benar berharap atas ramalannya itu. “Kapan?…… kapan?” tanya Elena bersemangat. “Tanggal 3 April” Jawab Sabrina asal bunyi. Waduh bukankan 2 bulan mendatang adalah bulan April? “Mati aku” Sabrina menepuk jidatnya sendiri. Elena hanya terbengong, namun kemudian sebuah pertanyaan terlontar juga dari mulutnya. “Kenapa?” tanyanya polos tak berdosa. “Aku melihat kamu akan sangat jatuh cinta padanya” pelajaran mengarang terus berlanjut. “begitu juga ia padamu. Kalian bagai tak terpisahkan, maklum dia adalah cinta pertamamu dan kamu adalah cinta pertamanya” menyingsikan lengan baju tetap basah, mending sekalian nyebur, lebih segar, pikir Sabrina. Elena cengar-cengir membayangkan calon pacarnya itu, sedangkan Sabrina justeru merasakan hal yang fantastis bisa mempermainkan perasaan orang lain. “Dimana aku akan bertemu dengannya?” tanya Elena tiba-tiba, mengagetkan Sabrina. Sabrina tidak menjawab alih-alih ia berfikir tentang kemungkinan yang logis dan romantis apabila kedua orang lawan jenis itu bertemu, rendevous dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. “Di stadion” celetuknya. “Stadion??????” seribu tanda tanya mengikuti kata – stadion- yang diucapkan Elena. Bagaimana ia bisa bertemu dengan sesorang di stadion apabila ia nggak akan pernah datang ke stadion lagi setelah trauma dikejar anjing ketika ikut joging pagi bersama orang tuanya
lima
tahun silam. “Maksudku stasiun” lagi-lagi Sabrina mengada-ada. “Stasiun kereta apai, televisi, radio atau stasiun sepak bola? Elena meledek. “Stasiun kereta kecana” Sabrina berusaha melucu, menyembunyikan skenarionya yang kurang cermat. Ia mulai menikmati bualan-demi bualan yang dilakukannya agar Elena mempercayai ramalan yang ia karang sendiri. Ia tidak terlalu kuatir apabila ramalan itu meleset. “Dua bulan nanti ia pasti sudah lupa” katanya dalam hati.
***
Begitulah kejadian dua bulan lalu itu masih terlintas jelas di benak Sabrina. Gara-gara ulahnya itu, ia harus rela pergi subuh-subuh ke stasiun ketika Elena memaksa untuk ditemani. “Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu sejak lama” kata Elena sembari membangunkan Sabrina yang masih asyik dengan dengkuran dan mimpi-mimpinya. “Hari ini aku akan bertemu dengan pangeranku” tambahnya sembari mengoyang-goyangkan tubuh tambun yang masih dibalut dengan baju tidur itu. “Ini hari sialku” kata Sabrina dalam hati. Hari ini adalah hari yang mempertaruhkan persahabatan yang telah lama terjalin. Ketika Elena mengetahui sahabatnya dengan ramalan palsu, kisah sebuah ketulusan dari persahabatan terancam bubar. “Pangeranmu nggak akan lari pagi. Dia mungkin masih ngorok” sengaja alasan dibuat Sabrina untuk melepaskan diri dari ajakan Elena. Ia sadar betul tak ada yang bisa mencegah kemauan gadis cantik itu, tapi ia berspikulasi siapa tahu kali ini Elena menuruti sarannya. “Aku siram dengan air saja deh, biar bisa bangun” saran Elena tak berdosa. Sekonyong-konyong Sabrina kelabakan dan langsung berdiri. “Jangan……Jangan…….. aku sudah bangun” ia sepoyongan, kemudian memasang kuda-kuda agar badannya yang gemuk tidak jatuh kembali keranjang. Ia berusaha membuka matanya, namun masih terasa berat sehingga tetap terpejam neskipun ia sudah berdiri. “Kamu seperti mayat hidup” kritik Elena datar. Sabrina berusaha keras membuka matanya “Aku sudah benar-benar bangun” akunya. “Kamu sudah meyiksaku dengan membangunkanku pagi-pagi. Aku akan balas suatu saat” tambahnya bersungut-sungut. Sesaat kemudian Elena sudah menggelandangnya kekamar mandi. Dua menit kemudian Sabrina keluar dengan muka basah namun tubuh dan rambutnya masih tetap kering. “Aku malas mandi” jawabnya ketika Elena bertanya mengapa begitu cepat keluar dari kamar mandi. Beberapa saat setelah Sabrina mengganti pakaiannya, mereka berangkat ke stasiun kereta api dengan menggunakan mobil yang Elena pinjam dari ayahnya.
Sepanjang jalan Sabrina melanjutkan tidurnya dan terus mengorok. “Dasar Piggy” serapah Elena pada Sabrina yang memang sering di panggil dengan sebutan “Piggy”, tokoh boneka Muffets,yang sangat mereka gandrungi ketika masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Sebenarnya Elena tidak terlalu tergangu dengan kelakuan sahabatnya itu, karena selain telah hafal dengan kebiasaan-kebiasaan Sabrina itu, ia juga tengah sibuk membayangkan pangerannya yang akan ditemui. Dan ia baru berhenti dengan kayalannya ketika mobilnya telah sampai di lapangan parkir stasiun kereta api. Dengan susah payah ia membangunkan si “Piggy” yang tengah ngiler di jog mobil. “Kita kemana?” tanya Sabrina sembari menutup pintu mobil. “Kita keliling-keliling dulu” jawab Elena setelah sejanak berfikir. “Aku tadi malam bermimpi kalian akan bertemu di toilet pria. Tapi aku tidak melihat diriku sendiri disana” Sabrina mulai lagi dengan skenarionya, Episode 2. “Dia memakai baju warna biru, celana jeans. Orangnya tinggi dan berkulit putih” seperti ahli nujum yang sakti, Sabrina menjelaskan ciri-ciri orang yang akan ditemui Elena. “Secakep apa dia?” tanya Elena penasaran. “Cakep kok, seperti apa yang kamu inginkan” jawab Sabrina meyakinkan. “menurut wangsit yang aku dapat tadi malam, kamu harus pergi sendiri ke
sana
karena kalau aku ikut maka kamu tidak akan pernah ketemu dengan jodohmu. Kamu hanya perlu mengingat-ingat ciri-ciri yang seperti aku sebutkan tadi. Salah satu ciri-cirinya yang menonjol adalah tinggi badannya kira-kira 180cm. Sembari kamu menanti menantikan sang pangeran, aku mo cari sarapan. Cacing di perutku sudah menggeliat kelaparan”, setelah mengambil HP yang ia titip dari tas Elena, ia berlalu menuju warung makanan yang berada tidak jauh dari mereka berdiri sembari berkata “selamat berjuang ya, Non”. “Tunggu!” Seru Elena tiba-tiba, ketika Sabrina hendak warung tenda. “Sejak kapan kamu mengenal wangsit segala?” teriak Elena dari kejahuan. Selama ini Sabrina hanya bisa meramal dengan menggunakan kartu tarot saja. Itupun karena hafal arti dari masing-masing kartu. Sabrina tidak menjawab, kemudian ia menghilang di balik kain yang menutupi warung itu. Elena menjadi bingung dan kuatir, apakah ia mempunyai keberanian bertemu dengan pangerannya itu sendirian? Apalagi ia tidak mempunyai sedikitpun pengetahuan tentang cara berkenalan dengan cowok. “Mati aku! Apa yang harus kulakukan?” tanyanya pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian gadis mungil itu memutuskan untuk mencari toilet pria dan berharap bisa bertemu dengan cowok idamannya disana. “Toilet wanita bukan disini” seorang lelaki tua mengingatkan Elena yang berdiri tak jauh dari toilet pria. “Makasih pak” kata Elena seakan-akan ia memang sedang mencari toilet wanita dan tersesat di toilet pria. Dua pemuda yang lewat, saling berbisik kemudian menggoda Elena. “nunggu siapa, Neng?” salah satu dari mereka mendatangi Elena. Elena tak menjawab alih-alih bahasa tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia tak nyaman dengan perlakuan itu. Seorang pemuda yang lain mengikuti temannya sehingga ia juga mendekati Elena sembari bertanya “menunggu langganan ya, neng?” mendengar hal itu Elena menjadi sangat marah namun ia tak berani meladeni kedua pemuda tersebut. Ia berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat tersebut namun tiba-tiba ia meabrak seseorang yang sedang berjalan menuju toilet. “Braaaaaaaaakkk” Elena terjatuh. :”Maaf” kata Elena merasa bersalah karena telah menabraknya. Cowok itu membantu Elena berdiri. “
Ada
apa kok lari-lari” tanya cowok itu. Astaga! Apakah dia orangnya? Berpostur tinggi, berbaju biru dan berkulit putih. “Apakah jodohku adalah seorang yang sudah matang?” tanya Elena dalam hati sembari memandangi lelaki yang berumur empat puluhan didepannya. Ciri-ciri yang disebutkan Sabrina semua ada padanya. Tapi bukankah Sabrina mengatakan bahwa cowok yang ia temui adalah seorang yang diidamkan? Sedangkan cowok dihadapannya itu tidak sedikitpun masuk dalam kreteria untuk menjadi pacar Elena. “Tidak ada apa-apa” jawab Elena kaku. “rasanya kita sudah saling kenal deh” kata cowok itu sok akrab. “Tidak……Tidak….. aku tidak pernah kenal Bapak” Elena mulai ketakutan. Takut akan kebenaran dari ramalan Sabrina yang mengatakan bahwa cowok yang ia temui akan menjadi pacarnya. “aku yakin kok. Kita pernah berkenalan sebelumnya” Kata lelaki itu memaksa. “Aku sih belum kenal Bapak. Bapak salah orang kali?” Elena mundur beberapa langkah. “Oh ya? Kalau begitu bagaimana kau kita kenalan sekarang? Namaku Wibowo, panggil aku Mas Bowo” Lelaki ini mengulurkan tangannya. Elena terpaksa menyambutnya. “Elena” ia berfikir keras untuk mencari alasan agar dapat segera meninggalkan lelaki dan tempat itu. “Siapa Mas?” tanya seorang ibu muda yang gemuk yang tanpa mereka tahu kedatangannya. Tiba-tiba lelaki itu menjadi sangat gugup. “Oh Mama… Dia… Dia adalah teman Papa. Eh… Maksud Papa, anak dari teman Papa” kata laki-laki itu bohong. Elena mengerutnkan dahinya, menganalisa apa yang baru saja dilakukan lelaki itu. Diotaknya langsung menjelaskan bahwa wanita gemuk itu adalah istri dari laki-laki iseng yang ada dihadapannya. “Salam buat Papa kamu, ya” sambung laki-laki itu sembari menggandeng istrinya dan kemudian pergi . “Dasar kegatelan” sumpah serapah Elena setelah mereka menghilang di kelokan jalan. Elena menarik nafas dalam-dalam, “Nyerah aku” katanya lirih. Kemudian ia bermaksud meninggalkan tempat itu dan menemui Sabrina untuk mengadu atas semua yang menimpah dirinya namun langkahnya terhenti ketika seorang cowok yang sedang melangkah menuju toilet telah menjatuhkan saputangan tanpa sengaja. “Mas” Elena memanggil empunya saputangan setelah dipungut dari lantai. “Sapu tangannya jatuh” kemudian diserahkan benda itu.. “Oh. Terima kasih banget. Saya nggak tahu kalau sapautangan saya jatuh. Sekali lagi terima kasih” cowok itu melempar senyum. Waduh………! Indah sekali senyum itu, seindah wajah pemiliknya. “Aku Yudith” cowok itu menyodorkan tangannya. “Aku Elena” ia menyambut tangan itu dengan tersipu. Beberapa saat mata mereka beradu, dan ketika Yudith hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba ponselnya menjerit. “Sorry aku angkat HP dulu, dari rumah” kata Yudith minta ijin. “Silahkan aku sekalian mo pamit. Sampai jumpa”. “Bye” Jawab Yudith singkat sambil buru-buru menjawab panggilan dari Hpnya. Elena berjalan gontai meninggalkan cowok itu. Namun langkahnya terhenti ketika diotaknya berfikir sesuatu “Dia memakai baju warna biru, celana jeans, tinggi dan putih” persis seperti apa yang dikatakan Sabrina. Elena sekonyong-konyong membalikan tubuhnya, namun betapa terkejutnya ketika Yudith berada tepat dihadapannya sembari bertanya “Boleh aku tahu alamat atau no HP kamu?”. Elena tidak segera menjawab, efek dari keterkejutannya membuatnya menjadi lemot (lemah otak) sehingga terlambat menjawab pertanyaan sederhana itu. “Boleh” jawabnya setelah beberapa saat. Disebutnya angka demi angka dari no Hpnya. Yudith menyimpannya di memory SIM Cardnya dengan nama “Elena Cantik”, sebuah kekaguman yang tidak diperlihatkan pada emunya. Ia kemudian misscall HP Elena agar nomornya dapat disimpan. “Turun dari kereta api atau baru mo naik? “ tanya Yudith ketika mereka berjalan beriringan meninggalkan area toilet pria. Elena hanya diam, ia bingung untuk menjawab pertannyaan itu. Ia tidak sedang bepergian dengan menggunakan kereta api. “Kok diam?” tanya Yudith menambah kegugupan Elena. “Emmmm……. Aku…… Aku menjemput family aku” Elena mendapat ide cemerlang pada detik-detik terakhir. “Oh” Yudith mengangguk. “Kalau kamu?” giliran Elena yang mengintrogasi. “Emmm….. Saya….. Saya jemput family juga” Dasar plagiat sejati, tidak hanya kata-katanya saja yang Yudith contek, kegugupannya pun ia contek secara sempurna. “Berarti kamu tinggal disni dong?” tanya Elena basi. Yudith hanya tersenyum, tak menjawab, namun Elena tahu bahwa senyuman itu adalah jawaban ‘Ya’ dari pertanyaan yang ia lontarkan. “Aku kesini bersama teman aku, ia sedang sarapan di
sana
” Elena menunjuk ke sebuah warteg. Keduanya melangkah menuju warteg dimana Sabrina sedang asyik menyantap dua mangkuk soto ayamnya. Saking asyik melahap makanannya, Sabrina tidak menyadari kehadiran sahabatnya itu. Elena sengaja mengagetkan Sabrina di belakang. Sekonyong-konyong sang korban melompat kaget, “sialan” umpatnya. Elena dan Yudith tertawa bersamaan. “Ternyata temanmu itu Sabrina? Dia teman aku juga. Dia sering meramal siapa jodohku” kata Yudith sembari menahan tawanya. “Meramal kamu?” tanya Elena seakan tak percaya. “Ya. Terakhir dia meramal siapa yang akan menjadi pacar saya”. “Sabrina…….!!!!????” Teriak Elena sambil melotot “Apa yang kamu lakukan padaku? Apa yang kamu lakukan pada kami? Kamu telah mempermainkan sahabatmu sendiri. Teganya kamu, kau bilang aku akan bertemu dengan cowok yang akan menjadi pacar aku, kenyataannya kau telah merencanakan semuanya agar kami dapat bertemu” Elena terus nyerocos melampiaskan kekesalannya. “Pantesan aku dipaksa memakai baju biru dan celana jeans, dia bilang warna keberuntunganku adalah biru. Aku pikir sih nggak ada salahnya sebab warna kesukaanku memang biru” Yudith menambahi. “Cepat jawab mengapa kumu tipu kami?” Elena menjewer telinga Sabrina. “Baik….. Baik aku akan cerita” Sabrina minta ampun. “Sebenarnya aku sudah lama nggak bisa meramal lagi. Aku tidak tahu kenapa. Elena memaksaku untuk meramalnya. Yudith juga melakukan hal yang sama, jadi apa salahnya aku comblangi kalian?” cerita Sabrina. “Tapi kamu telah membohongi kami” Elena menimpali. “Ya, betul” Yudith memperkuat pendapat Elena. “Ok deh, aku mengaku bersalah. Pikirku kalian sama-sama sedang mencari pacar, jombloh, tapi nggak seharusnya aku meyatukan kalian. Aku minta ma’af. Sorry….. Sorry.. Ma’af” Sabrina menyodorkan tangannya kepada Elena dan Yudith, tapi keduanya mengacukan. “Ok deh, Begini saja…” katanya punya ide “Anggap saja kalian tidak pernah bertemu. Kalau kalian sudah saling tukar HP, hapus saja. Setuju?….. Selanjutnya kalian tidak akan pernah bisa berhubungan” usulnya. “Tidak” seru Elena dan Yudith serentak. “Loh, kok nggak mau? Jangan-jangan kalian jatuh cinta pada pandangan pertama sehingga tidak mau menghapus nomor HP satu sama lain? Takut nggak bisa saling menghubungi lagi dan bertemu lagi? Berarti ramalanku benar, dong? Kalian memang ditakdirkan untuk menjadi sepasang kekasih” Sabrina nyerocos merasa berada di atas angin. Elena dan Yudith tidak berkomentar, mereka justeru saling berpandangan dan kemudian salaing tersenyum. Sabrina semakin jadi, berkotbah seakan ia adalah seorang pahlawan yang dapat menyatukan pangeran dan putri menjadi sepasang kekasih. Setelah melihat kearah es campur yang berada di meja Sabrina, Yudith memberi kode pada Elena. Elenapun langsung mengerti maksud Yudith. “Satu, Dua……., Tiga” mereka langsung menyiramkan es campur ke rambut Sabrina. Sabrina gelagapan. “Tuhan ampuni dosa mereka!” Sabrina pasrah. Sementara itu Elena dan Yudith tertawa kegelian. “Itu hadiah untuk peramal gadungan seperti kamu” kata Elana sembari meninggalkan Sabrina sendirian.@@@
Beberapa saat setelah gencatan senjata, Elena dan Sabrina terpaku ketika melihat sekeling mereka yang telah penuh dengan kapas kapuk. Yang terpikir oleh mereka adalah kerja bakti untuk membersihkan kamar agar kembali seperti sedia kala. Terakhir kalinya berperang bantal, mereka sepakat untuk tidak melakukannya lagi karena keduannya kelelahan setelah membersihkan kamar yang telah porak poranda oleh peluru kapuk salah sasaran. Kenyataannya mereka harus bercapek-capek kembali untuk merapikan kamar Elena bila tidak ingin di semprot mama Elena yang selalu mengomel apabila melihat sesuatu yang berantakan di rumahnya. “Aku nyerah”kata Elena sembari mengangkat kedua tangannya. Nafasnya naik turun. “Berarti aku yang menang” Sabrina menyahuti. Elena pasrah, tapi kemudian tertawa kegelian melihat wajah dan rambut Sabrina yang tertutupi oleh kapas kapuk. “Pantesan kamu ngejombloh terus. Cowok pada takut melihat wajahmu yang seperti hantu itu”olok Elena sembari menahan tawa. “Sontoloyo” umpat Sabrina. “Aku nggak dapat pacar karena memang aku jelek, tapi lihat dirimu sendiri! cantik, seksi, kulit putih dan mulus, baik pula, tapi sayang……. Ngejombloh juga. Jadi sebenarnya kamulah yang lebih sial ketimbang aku. Hahaha…..” Sabrina tertawa hingga tubuhnya terguncang-guncang. Cewek bertubuh subur yang konon bisa meramal ini terduduk lunglai tatkala tawanya mereda. “Kamu benar…….. Rasanya aku nggak terlalu jelek-jelek amat, tapi mengapa nggak ada satu cowokpun yang mau menjadikan aku pacar. Bahkan aku sudah hampir lulus SMU belum pernah merasakan pacaran, apalagi berciuman. Kasihan deh gue!” Elena beranjak mendekati sahabat karibnya yang asik membersihkan wajahnya dari kapas kapuk. “Sampai kapan aku nggak punya pacar? Bosan jomloh terus. Ramal dong, kapan aku mempunyai pacar?” pintanya manja. Sabrina mengatur nafas, sisa-sisa tawanya masih sesekali muncul tanpa sebab. “Aku sudah lama tidak bisa meramal lagi. Aku insyaf” jawab Sabrina sekenanya. “Kamu
kan
sudah lama nggak ngeramal aku. Siapa tahu ramalanmu tentangku kali ini lebih baik dari ramalan-ramalan sebelumnya. Mau dong ya…………..?” Elena merengek seperti anak kecil. Sabrina masih diam tak mengubris, namun beberapa saat kemudian Elena menarik tangannya, melompat turun dari ranjang. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Sabrina mengikuti kemauan Elena tanpa berontak. “Kemampuan meramalku sudah lama hilang. Pantangannya sudah kulanggar. So, aku nggak bisa ngeramal lagi sekarang” Sabrina membuat alasan agar tidak dipaksa untuk meramal sahabat karipnya itu. “Emang kamu sudah dikutuk jadi kerbau sehingga nggak bisa meramal lagi? Siapa yang percaya kalau kamu sudah tidak bisa meramal lagi?” Elena membersihkan kapas kapuk yang nongkrong di meja rias dengan tangannya. Beberapa kali ia mengibaskan tangan namun sia-sia karena kapuk yang ada di rambut dan tubuh mereka kembali mengotori meja yang akan dijadikan tempat meramal. Elena menyerah, dibiarkan meja yang masih penuh dengan kapas kapuk kemudian meraih sekotak kartu Tarot tanpa memperdulikan kondisi meja yang berantakan. Diserahkan kartu-kartu itu kepada Sabrina namun ia menerimanya kembali setelah kartu itu dikocok Sabrina. “Kamu yang harus mengocok sendiri” jelas Sabrina.tanpa ba-bi-bu Elena mengocok kartu-kartu itu dengan seksama. “Ramalanku sudah nggak jitu lagi” Sabrina masih berusaha untuk membatalkan ritual itu yang dulu kerap meraka lakukan sekedar menghabiskan waktu di musim liburan. Elena tak menggubrisnya, setelah kartu dikocok, iapun membaginya menjadi empat baris tiga kolom sehingga ada dua belas kartu yang masih tertutup yang berjajar rapi di meja, sedangkan sisanya dibiarkan bertumpuk. Ia sudah sangat hafal dengan prosesi peramalan versi Sabrina. Ia tidak akan melupakan tahap-tahap yang harus di laluinya. Iapun segera membuka salah satu kartu untuk diramal oleh peramal kelas kelinci yang belum teruji kepiawaiannya itu. “Waduh…!” kata Sabrina setelah melihat kartu pertama yang terbuka. “Kenapa….? Bagus atau buruk?” tanya Elena penasaran. Sabrina tidak segera menjawab. Ia tidak melihat sisi buruknya dari kartu itu, tidak pula sisi baiknya. Yang ia tahu adalah bahwa ia benar-benar sudah tidak mempunyai kemampuan dalam meramal lagi. “Waduh…..” katanya mengulang. “Kenapa?” Elena ikut mengulang. “Sebentar! Aku cari tahu dulu maksud dari kartu ini”. Sabrina mulai berdalih untuk menutupi kemampuan meramalnya yang mulai luntur. Ia benar-benar lupa cara membaca kartu yang telah diajarkan tantenya ketika ia bertandang ke
Manado
. “bersyukurlah! Sebentar lagi kamu akan bertemu dengan cowok yang sesuai keinginanmu. Ia tinggi, cakep dan pendiam seperti yang selama ini kamu impikan” kata Sabrina mengarang. Ia takut mengecewakan sahabatnya apabila terus terang atas hilangnya kemampuannya setelah Elena benar-benar berharap atas ramalannya itu. “Kapan?…… kapan?” tanya Elena bersemangat. “Tanggal 3 April” Jawab Sabrina asal bunyi. Waduh bukankan 2 bulan mendatang adalah bulan April? “Mati aku” Sabrina menepuk jidatnya sendiri. Elena hanya terbengong, namun kemudian sebuah pertanyaan terlontar juga dari mulutnya. “Kenapa?” tanyanya polos tak berdosa. “Aku melihat kamu akan sangat jatuh cinta padanya” pelajaran mengarang terus berlanjut. “begitu juga ia padamu. Kalian bagai tak terpisahkan, maklum dia adalah cinta pertamamu dan kamu adalah cinta pertamanya” menyingsikan lengan baju tetap basah, mending sekalian nyebur, lebih segar, pikir Sabrina. Elena cengar-cengir membayangkan calon pacarnya itu, sedangkan Sabrina justeru merasakan hal yang fantastis bisa mempermainkan perasaan orang lain. “Dimana aku akan bertemu dengannya?” tanya Elena tiba-tiba, mengagetkan Sabrina. Sabrina tidak menjawab alih-alih ia berfikir tentang kemungkinan yang logis dan romantis apabila kedua orang lawan jenis itu bertemu, rendevous dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. “Di stadion” celetuknya. “Stadion??????” seribu tanda tanya mengikuti kata – stadion- yang diucapkan Elena. Bagaimana ia bisa bertemu dengan sesorang di stadion apabila ia nggak akan pernah datang ke stadion lagi setelah trauma dikejar anjing ketika ikut joging pagi bersama orang tuanya
lima
tahun silam. “Maksudku stasiun” lagi-lagi Sabrina mengada-ada. “Stasiun kereta apai, televisi, radio atau stasiun sepak bola? Elena meledek. “Stasiun kereta kecana” Sabrina berusaha melucu, menyembunyikan skenarionya yang kurang cermat. Ia mulai menikmati bualan-demi bualan yang dilakukannya agar Elena mempercayai ramalan yang ia karang sendiri. Ia tidak terlalu kuatir apabila ramalan itu meleset. “Dua bulan nanti ia pasti sudah lupa” katanya dalam hati.
***
Begitulah kejadian dua bulan lalu itu masih terlintas jelas di benak Sabrina. Gara-gara ulahnya itu, ia harus rela pergi subuh-subuh ke stasiun ketika Elena memaksa untuk ditemani. “Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu sejak lama” kata Elena sembari membangunkan Sabrina yang masih asyik dengan dengkuran dan mimpi-mimpinya. “Hari ini aku akan bertemu dengan pangeranku” tambahnya sembari mengoyang-goyangkan tubuh tambun yang masih dibalut dengan baju tidur itu. “Ini hari sialku” kata Sabrina dalam hati. Hari ini adalah hari yang mempertaruhkan persahabatan yang telah lama terjalin. Ketika Elena mengetahui sahabatnya dengan ramalan palsu, kisah sebuah ketulusan dari persahabatan terancam bubar. “Pangeranmu nggak akan lari pagi. Dia mungkin masih ngorok” sengaja alasan dibuat Sabrina untuk melepaskan diri dari ajakan Elena. Ia sadar betul tak ada yang bisa mencegah kemauan gadis cantik itu, tapi ia berspikulasi siapa tahu kali ini Elena menuruti sarannya. “Aku siram dengan air saja deh, biar bisa bangun” saran Elena tak berdosa. Sekonyong-konyong Sabrina kelabakan dan langsung berdiri. “Jangan……Jangan…….. aku sudah bangun” ia sepoyongan, kemudian memasang kuda-kuda agar badannya yang gemuk tidak jatuh kembali keranjang. Ia berusaha membuka matanya, namun masih terasa berat sehingga tetap terpejam neskipun ia sudah berdiri. “Kamu seperti mayat hidup” kritik Elena datar. Sabrina berusaha keras membuka matanya “Aku sudah benar-benar bangun” akunya. “Kamu sudah meyiksaku dengan membangunkanku pagi-pagi. Aku akan balas suatu saat” tambahnya bersungut-sungut. Sesaat kemudian Elena sudah menggelandangnya kekamar mandi. Dua menit kemudian Sabrina keluar dengan muka basah namun tubuh dan rambutnya masih tetap kering. “Aku malas mandi” jawabnya ketika Elena bertanya mengapa begitu cepat keluar dari kamar mandi. Beberapa saat setelah Sabrina mengganti pakaiannya, mereka berangkat ke stasiun kereta api dengan menggunakan mobil yang Elena pinjam dari ayahnya.
Sepanjang jalan Sabrina melanjutkan tidurnya dan terus mengorok. “Dasar Piggy” serapah Elena pada Sabrina yang memang sering di panggil dengan sebutan “Piggy”, tokoh boneka Muffets,yang sangat mereka gandrungi ketika masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Sebenarnya Elena tidak terlalu tergangu dengan kelakuan sahabatnya itu, karena selain telah hafal dengan kebiasaan-kebiasaan Sabrina itu, ia juga tengah sibuk membayangkan pangerannya yang akan ditemui. Dan ia baru berhenti dengan kayalannya ketika mobilnya telah sampai di lapangan parkir stasiun kereta api. Dengan susah payah ia membangunkan si “Piggy” yang tengah ngiler di jog mobil. “Kita kemana?” tanya Sabrina sembari menutup pintu mobil. “Kita keliling-keliling dulu” jawab Elena setelah sejanak berfikir. “Aku tadi malam bermimpi kalian akan bertemu di toilet pria. Tapi aku tidak melihat diriku sendiri disana” Sabrina mulai lagi dengan skenarionya, Episode 2. “Dia memakai baju warna biru, celana jeans. Orangnya tinggi dan berkulit putih” seperti ahli nujum yang sakti, Sabrina menjelaskan ciri-ciri orang yang akan ditemui Elena. “Secakep apa dia?” tanya Elena penasaran. “Cakep kok, seperti apa yang kamu inginkan” jawab Sabrina meyakinkan. “menurut wangsit yang aku dapat tadi malam, kamu harus pergi sendiri ke
sana
karena kalau aku ikut maka kamu tidak akan pernah ketemu dengan jodohmu. Kamu hanya perlu mengingat-ingat ciri-ciri yang seperti aku sebutkan tadi. Salah satu ciri-cirinya yang menonjol adalah tinggi badannya kira-kira 180cm. Sembari kamu menanti menantikan sang pangeran, aku mo cari sarapan. Cacing di perutku sudah menggeliat kelaparan”, setelah mengambil HP yang ia titip dari tas Elena, ia berlalu menuju warung makanan yang berada tidak jauh dari mereka berdiri sembari berkata “selamat berjuang ya, Non”. “Tunggu!” Seru Elena tiba-tiba, ketika Sabrina hendak warung tenda. “Sejak kapan kamu mengenal wangsit segala?” teriak Elena dari kejahuan. Selama ini Sabrina hanya bisa meramal dengan menggunakan kartu tarot saja. Itupun karena hafal arti dari masing-masing kartu. Sabrina tidak menjawab, kemudian ia menghilang di balik kain yang menutupi warung itu. Elena menjadi bingung dan kuatir, apakah ia mempunyai keberanian bertemu dengan pangerannya itu sendirian? Apalagi ia tidak mempunyai sedikitpun pengetahuan tentang cara berkenalan dengan cowok. “Mati aku! Apa yang harus kulakukan?” tanyanya pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian gadis mungil itu memutuskan untuk mencari toilet pria dan berharap bisa bertemu dengan cowok idamannya disana. “Toilet wanita bukan disini” seorang lelaki tua mengingatkan Elena yang berdiri tak jauh dari toilet pria. “Makasih pak” kata Elena seakan-akan ia memang sedang mencari toilet wanita dan tersesat di toilet pria. Dua pemuda yang lewat, saling berbisik kemudian menggoda Elena. “nunggu siapa, Neng?” salah satu dari mereka mendatangi Elena. Elena tak menjawab alih-alih bahasa tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia tak nyaman dengan perlakuan itu. Seorang pemuda yang lain mengikuti temannya sehingga ia juga mendekati Elena sembari bertanya “menunggu langganan ya, neng?” mendengar hal itu Elena menjadi sangat marah namun ia tak berani meladeni kedua pemuda tersebut. Ia berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat tersebut namun tiba-tiba ia meabrak seseorang yang sedang berjalan menuju toilet. “Braaaaaaaaakkk” Elena terjatuh. :”Maaf” kata Elena merasa bersalah karena telah menabraknya. Cowok itu membantu Elena berdiri. “
Ada
apa kok lari-lari” tanya cowok itu. Astaga! Apakah dia orangnya? Berpostur tinggi, berbaju biru dan berkulit putih. “Apakah jodohku adalah seorang yang sudah matang?” tanya Elena dalam hati sembari memandangi lelaki yang berumur empat puluhan didepannya. Ciri-ciri yang disebutkan Sabrina semua ada padanya. Tapi bukankah Sabrina mengatakan bahwa cowok yang ia temui adalah seorang yang diidamkan? Sedangkan cowok dihadapannya itu tidak sedikitpun masuk dalam kreteria untuk menjadi pacar Elena. “Tidak ada apa-apa” jawab Elena kaku. “rasanya kita sudah saling kenal deh” kata cowok itu sok akrab. “Tidak……Tidak….. aku tidak pernah kenal Bapak” Elena mulai ketakutan. Takut akan kebenaran dari ramalan Sabrina yang mengatakan bahwa cowok yang ia temui akan menjadi pacarnya. “aku yakin kok. Kita pernah berkenalan sebelumnya” Kata lelaki itu memaksa. “Aku sih belum kenal Bapak. Bapak salah orang kali?” Elena mundur beberapa langkah. “Oh ya? Kalau begitu bagaimana kau kita kenalan sekarang? Namaku Wibowo, panggil aku Mas Bowo” Lelaki ini mengulurkan tangannya. Elena terpaksa menyambutnya. “Elena” ia berfikir keras untuk mencari alasan agar dapat segera meninggalkan lelaki dan tempat itu. “Siapa Mas?” tanya seorang ibu muda yang gemuk yang tanpa mereka tahu kedatangannya. Tiba-tiba lelaki itu menjadi sangat gugup. “Oh Mama… Dia… Dia adalah teman Papa. Eh… Maksud Papa, anak dari teman Papa” kata laki-laki itu bohong. Elena mengerutnkan dahinya, menganalisa apa yang baru saja dilakukan lelaki itu. Diotaknya langsung menjelaskan bahwa wanita gemuk itu adalah istri dari laki-laki iseng yang ada dihadapannya. “Salam buat Papa kamu, ya” sambung laki-laki itu sembari menggandeng istrinya dan kemudian pergi . “Dasar kegatelan” sumpah serapah Elena setelah mereka menghilang di kelokan jalan. Elena menarik nafas dalam-dalam, “Nyerah aku” katanya lirih. Kemudian ia bermaksud meninggalkan tempat itu dan menemui Sabrina untuk mengadu atas semua yang menimpah dirinya namun langkahnya terhenti ketika seorang cowok yang sedang melangkah menuju toilet telah menjatuhkan saputangan tanpa sengaja. “Mas” Elena memanggil empunya saputangan setelah dipungut dari lantai. “Sapu tangannya jatuh” kemudian diserahkan benda itu.. “Oh. Terima kasih banget. Saya nggak tahu kalau sapautangan saya jatuh. Sekali lagi terima kasih” cowok itu melempar senyum. Waduh………! Indah sekali senyum itu, seindah wajah pemiliknya. “Aku Yudith” cowok itu menyodorkan tangannya. “Aku Elena” ia menyambut tangan itu dengan tersipu. Beberapa saat mata mereka beradu, dan ketika Yudith hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba ponselnya menjerit. “Sorry aku angkat HP dulu, dari rumah” kata Yudith minta ijin. “Silahkan aku sekalian mo pamit. Sampai jumpa”. “Bye” Jawab Yudith singkat sambil buru-buru menjawab panggilan dari Hpnya. Elena berjalan gontai meninggalkan cowok itu. Namun langkahnya terhenti ketika diotaknya berfikir sesuatu “Dia memakai baju warna biru, celana jeans, tinggi dan putih” persis seperti apa yang dikatakan Sabrina. Elena sekonyong-konyong membalikan tubuhnya, namun betapa terkejutnya ketika Yudith berada tepat dihadapannya sembari bertanya “Boleh aku tahu alamat atau no HP kamu?”. Elena tidak segera menjawab, efek dari keterkejutannya membuatnya menjadi lemot (lemah otak) sehingga terlambat menjawab pertanyaan sederhana itu. “Boleh” jawabnya setelah beberapa saat. Disebutnya angka demi angka dari no Hpnya. Yudith menyimpannya di memory SIM Cardnya dengan nama “Elena Cantik”, sebuah kekaguman yang tidak diperlihatkan pada emunya. Ia kemudian misscall HP Elena agar nomornya dapat disimpan. “Turun dari kereta api atau baru mo naik? “ tanya Yudith ketika mereka berjalan beriringan meninggalkan area toilet pria. Elena hanya diam, ia bingung untuk menjawab pertannyaan itu. Ia tidak sedang bepergian dengan menggunakan kereta api. “Kok diam?” tanya Yudith menambah kegugupan Elena. “Emmmm……. Aku…… Aku menjemput family aku” Elena mendapat ide cemerlang pada detik-detik terakhir. “Oh” Yudith mengangguk. “Kalau kamu?” giliran Elena yang mengintrogasi. “Emmm….. Saya….. Saya jemput family juga” Dasar plagiat sejati, tidak hanya kata-katanya saja yang Yudith contek, kegugupannya pun ia contek secara sempurna. “Berarti kamu tinggal disni dong?” tanya Elena basi. Yudith hanya tersenyum, tak menjawab, namun Elena tahu bahwa senyuman itu adalah jawaban ‘Ya’ dari pertanyaan yang ia lontarkan. “Aku kesini bersama teman aku, ia sedang sarapan di
sana
” Elena menunjuk ke sebuah warteg. Keduanya melangkah menuju warteg dimana Sabrina sedang asyik menyantap dua mangkuk soto ayamnya. Saking asyik melahap makanannya, Sabrina tidak menyadari kehadiran sahabatnya itu. Elena sengaja mengagetkan Sabrina di belakang. Sekonyong-konyong sang korban melompat kaget, “sialan” umpatnya. Elena dan Yudith tertawa bersamaan. “Ternyata temanmu itu Sabrina? Dia teman aku juga. Dia sering meramal siapa jodohku” kata Yudith sembari menahan tawanya. “Meramal kamu?” tanya Elena seakan tak percaya. “Ya. Terakhir dia meramal siapa yang akan menjadi pacar saya”. “Sabrina…….!!!!????” Teriak Elena sambil melotot “Apa yang kamu lakukan padaku? Apa yang kamu lakukan pada kami? Kamu telah mempermainkan sahabatmu sendiri. Teganya kamu, kau bilang aku akan bertemu dengan cowok yang akan menjadi pacar aku, kenyataannya kau telah merencanakan semuanya agar kami dapat bertemu” Elena terus nyerocos melampiaskan kekesalannya. “Pantesan aku dipaksa memakai baju biru dan celana jeans, dia bilang warna keberuntunganku adalah biru. Aku pikir sih nggak ada salahnya sebab warna kesukaanku memang biru” Yudith menambahi. “Cepat jawab mengapa kumu tipu kami?” Elena menjewer telinga Sabrina. “Baik….. Baik aku akan cerita” Sabrina minta ampun. “Sebenarnya aku sudah lama nggak bisa meramal lagi. Aku tidak tahu kenapa. Elena memaksaku untuk meramalnya. Yudith juga melakukan hal yang sama, jadi apa salahnya aku comblangi kalian?” cerita Sabrina. “Tapi kamu telah membohongi kami” Elena menimpali. “Ya, betul” Yudith memperkuat pendapat Elena. “Ok deh, aku mengaku bersalah. Pikirku kalian sama-sama sedang mencari pacar, jombloh, tapi nggak seharusnya aku meyatukan kalian. Aku minta ma’af. Sorry….. Sorry.. Ma’af” Sabrina menyodorkan tangannya kepada Elena dan Yudith, tapi keduanya mengacukan. “Ok deh, Begini saja…” katanya punya ide “Anggap saja kalian tidak pernah bertemu. Kalau kalian sudah saling tukar HP, hapus saja. Setuju?….. Selanjutnya kalian tidak akan pernah bisa berhubungan” usulnya. “Tidak” seru Elena dan Yudith serentak. “Loh, kok nggak mau? Jangan-jangan kalian jatuh cinta pada pandangan pertama sehingga tidak mau menghapus nomor HP satu sama lain? Takut nggak bisa saling menghubungi lagi dan bertemu lagi? Berarti ramalanku benar, dong? Kalian memang ditakdirkan untuk menjadi sepasang kekasih” Sabrina nyerocos merasa berada di atas angin. Elena dan Yudith tidak berkomentar, mereka justeru saling berpandangan dan kemudian salaing tersenyum. Sabrina semakin jadi, berkotbah seakan ia adalah seorang pahlawan yang dapat menyatukan pangeran dan putri menjadi sepasang kekasih. Setelah melihat kearah es campur yang berada di meja Sabrina, Yudith memberi kode pada Elena. Elenapun langsung mengerti maksud Yudith. “Satu, Dua……., Tiga” mereka langsung menyiramkan es campur ke rambut Sabrina. Sabrina gelagapan. “Tuhan ampuni dosa mereka!” Sabrina pasrah. Sementara itu Elena dan Yudith tertawa kegelian. “Itu hadiah untuk peramal gadungan seperti kamu” kata Elana sembari meninggalkan Sabrina sendirian.@@@
0 komentar:
Posting Komentar