Imajinasi Pemimpi

Imajinasikan mimpimu, mimpikan imajinasimu

Senin, 24 Januari 2011

Pamrih Pada Surga


Ketika masih kita kecil, kehadiran Ramadhan sering menjadi momen yang ditunggu karena suasana yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Buka puasa bersama keluarga, begitu pula saat sahur juga dilakukan bersama keluarga. Prestasi dalam berpuasa sering kali di ”pahala-i” dengan bebagai macam konpensasi dari orang tua kita. Bisa berupa uang, mainan, pakaian atau hal lain yang memang kita inginkan sebelumnya.
Ramadhan juga mempunyai kekhasan tersendiri dari bulan-bulan lainnya. Ada banyak tradisi yang memarnai di setiap daerah. Di daerah tertentu, Ramadhan di awali dan di akhiri dengan selamatan (syukuran) di setiap rumah yang beragama Islam. Tarawih, tadarus, sholat shubuh berjam’ah, membangunkan orang saur dengan berkeliling kampung, atau hal-hal lain yang hanya di miliki oleh bulan Ramadhan itu begitu memberikan suasana tersendiri di setiap sanubari.
Pada orang-orang tertentu, Ramadhan akan menjadi sedikit memberatkan bagi mereka yang mulai beranjak dewasa. Ada banyak kegiatan yang terbatasi oleh hadirnya Ramadhan. Apalagi saat kita mulai mengenal cinta dan pacaran. Kegiatan puasa seakan memberatkan dengan larangan-larangan yang bisa membatalkan puasa kita. Pada saat itu kecintaan terhadap tuhan menjadi nomor dua setelah pacar atau kekasih. Puasa seakan merenggut kebebasan dalam memadu kasih. Jalan berdua dilarang, berpegangan tangan dilarang, atau bahkan bertemupun dilarang. Dalam keadaan seperti itu puasa sangatlah memberatkan. Apalagi bagi mereka yang biasa kongkow bersama teman-teman tiba-tiba harus menghentikan kegiatan itu dikarenakan alasan yang sama.
Dimasa-masa seperti itu puasa seakan sebuah keterpaksaan, dan bahkan menjadi sesuatu yang sangat memberatkan. Kebanyakan dari kita mengalami hal itu dikarenakan saat itu adalah masa-masa transisi menuju kedewasaan. Ketika dewasa orang akan dengan sadar melakukan kewajiban berpuasa, atau justeru berani meninggalkanya, tergantung keimanan kita. Ketika keimanan kita beranjak menjadi lebih mantap, maka puasa akan menjadi sesuatu kewajiban yang justeru kita nanti. Sebaliknya, penurunan keimanan akan menjadikan Ramadhan tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lainnya.
Mungkin anda pernah menantikan hadirnya lebaran saat kecil dulu. Dengan alasan bahwa lebaran akan banyak kue dimana-mana dan uang saku dari siapa saja. Indah sekali ketika lebaran tiba setelah sekian lama anda menunggunya. Begitu juga dengan puasa Ramadhan akan sangat indah bagi mereka yang memang sudah menantikan hadirnya. Kenyataan membuktikan bahwa suatu kewajiban akan menjadi tidak berat dan bahkan menjadi indah ketika kita menantikannya. Walaupun hal itu hanya terjadi bagi mereka yang tingkat keimanannya terhadap Illahi yang cukup memadai.
Setiap hal selalu membutuhkan proses untuk menjadi matang atau bahkan menjadi sesuatu yang dangkal. Keterpaksaan menjalankan suatu kewajiban juga merupakan sebuah proses untuk menuju kedua hal tersebut. Peranan orang tua terkadang sangat berperan dalam membantu melewati proses tersebut. Banyak orang tua kita yang memaksa melakukan kewajiban-kewajiban tertentu dan sehingga kegiatan itu akan dengan terpaksa di lakukan. Lambat laun hal-hal yang dengan terpaksa kita lakukan itu akan menjadi proses belajar yang sangat baik. Kebanyakan dari kita yang menganggap puasa adalah hal yang tidak memberatkan karena kita suda terbiasa melakukannya sejak kecil. Anda akan berpendapat bahwa puasa sangat-sangatlah memberatkan bila baru mencobanya ketika anda dewasa. Oleh sebab itu sebenarnya orang kita yang sangat berperan dalam membentuk keimanan kita. Maka bersyukurlah bila ketika anda masih kecil, orang tua anda selalu memaksakan untuk melakukan kegiatan keagamaan, karena itu adalah proses belajar yang sangat efektif.
Ketika masih kecil kita sering mendapat hadiah sebagai ”pahala” dari kewajiban yang sudah kita lakukan, maka dengan mudah kita bilang bahwa kegiatan itu dilakukan bukan dengan suatu keiklasan. Dan bagaimana bila kita mengharapkan pahala dengan berpuasa, misalnya? Bukankah suatu hal yang dilakukan dengan tendensi tertentu cendrung tidak diikutin dengan sebuah keiklasan. Jadi bagaimana kita melakukan sesuatu dengan iklas? Memberi seseorang tanpa ingin dipuji? Berlaku baik karena juga ingin mendapatkan perlakuan baik dari orang. Berpuasa dan sholat hanya karena ingin mendapatkan pahala.
Tidak ada salahnya kita melakukan semua kewajiban pada Alloh karena mengharapkan imbalan dari Nya. Tidak salah sama sekali, tentunya. Tapi tidakkah mungkin kita melakukannya karena itu semua adalah ’fitrah’ yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia yang bertuhan. Mungkin dengan cara itu kita bisa menemukan ”keiklasan” yang sesungguhnya. Surga hanya merupakan bonus dari segala apa yang telah kita lakukan. Karena ’surga dan neraka’ adalah hak prerogatif Alloh. Tak ada yang mampu menentukan seseorang ke neraka atau ke surga selain Alloh. Mampukah anda menjamin seseorang akan masuk surga atau neraka karena kelakuannya? Tentu tidak karena tak seorangpun yang pernah pergi kesana. Hal ini cukup ironi bila melihat perkembangan terakhir dari ’dunia teroris’. Mereka selalu mengiming-imingi surga kepada para pelaku bom bunuh diri, yang bahkan belum pernah tahu keberadaan surga. Kita hanya bisa berusaha untuk melakukan segala perintah dan laranganNya, sedangkan pahala yang berupa surga dan neraka adalah hak seutuhnya milik Alloh. Sedikitpun kita tidak bisa mengklaim bahwa kita akan mendapat surga dari apa yang telah kita lakukan. Adakah yang bisa menentang kekuasaan Alloh, bila kita di hadiahi surga, atau bahkan neraka? Tak seorangpun, tak sesuatupun. Semua atas kekuasaan Alloh.
Dari situ barulah kita tahu bahwa ’keiklasan’ cukup sulit di definisikan. Apabila keiklasan adalah melakukan sesuatu tanpa pamrih apapun, maka adakah pekerjaan yang selama ini kita lakukan tanpa pamrih apapun. Sebagai contoh: kebanyakan orang tua memberikan sesuatu pada anaknya dengan suatu keihlasan. Memang sepertinya tidak ada satu pamrih apapun dari apa yang dilakukan itu. Seorang bapak tidak menginginkan kelak anaknya akan membalas dari mainan yang ia belikan sekarang. Ia hanya membelikan dan memberikan pada anak tersayangnya tanpa ada tendensi apapaun. Tidak ingin dipuji, tidak ingin mendapat imbalan apapun dari siapapun dari hal itu. Bukankan itu iklas? Tapi bila di teliti lebih jauh sebenarnya kita tidak bisa lepas dari pamrih. Bapak tersebut memang tidak menginginkan apapun dari kegiatan membelikan mainan untuk anaknya tersebut, selain agar anaknya bahagia. Bila anaknya bahagia maka iapun bahagia. Lalu bukankan itu pamrih? Memberikan sesuatu pada orang lain hanya untuk kebahagiannya sendiri. Jadi tak mungkinkah berbuat ikhlas? Kapankah kita bisa melakukannya?
Berpamrih pada surga, sudah cukup menuntun manusia dalam nemapaki jalan yang di ridho Alloh, apalagi bila kita tidak berpamrih pada apapun. Mungkin tidak ada perang didunia ini, tidak ada teroris, tidak ada pemusuhan. Walau tak ada yang mustahil bagi Alloh, tapi cukup naif bila kita menginginkan hal itu. Manusia memang diciptakan begitu adanya. Berbeda-beda dengan segala kekurangan dan kelebihanya, sehingga adalah hal mustahil untuk menseragamkannya. Ada yang berbuat dengan ikhlas, ada yang berpamrih pada surga, tapi ada pula yang tak sedikitpun memusingkan hal itu. Bahkan ada juga yang tak meyakini adanya surga dan neraka, apalagi dengan sebuah keiklasan.

0 komentar:

Posting Komentar


MusicPlaylistView Profile
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons