Ketika sedang mencari-cari buku di rak display toko buku Gramedia, disebelah saya berdiri gadis berumur sekitar 16-17 tahun. Seperti biasa, saya tak perduli dengan orang-orang yang sedang melihat-lihat (baca: mencari-cari) buku yang mungkin menarik untuk dibaca, seperti juga yang saya lakukan. Yang menarik perhatian saya adalah, expresi setiap orang yang melihatnya. Bukan karena kecantikan atau body yang seksi, melainkan karena ia mempunyai berat badan melebihi berat badan idealnya. Bahkan mungkin diatas rata-rata berat badan wanita-wanita gemuk di indonesia.
Gadis itu sepertinya tak perduli dengan ”pandangan” aneh dari orang-orang yang bertemu dengannya. Atau bahkan mungkin ia sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi apakah benar ia tak terpengaruh dengan ”perlakuan” masyarakat terhadapnya? Apakah ia tak merasa sedih atau minder dengan hal itu? Ia seakan akan adalah ”tontonan gratis” bagi siapapun yang melihatnya. Siapapun akan senang bila orang lain akan ”menonton”nya dikarenakan kecantikan ataupun keseksiannya, tapi tidak karena obisitas atau kekurangan-kekurangan yang lain. Tanpa ada pandangan aneh dari orang-orang disekitarnya, sebenarnya gadis itu sudah merasa terbebani dengan obisitas yang dialaminya. Ia susah begerak, mudah berkeringat, atau bahkan minder sudah cukup membuatnya terbebani, apalagi bila kita menjadikan ”tontonan gratis” saat kita bertemu di jalan atau di mal. Apalagi kalau gadis itu di bicarakan oleh orang lain seperti saat itu yang terjadi dimana beberapa orang yang berdiri tak jauh dari saya sedang asyik membicarakan fisik gadis itu, dan saya yakin gadis tersebut juga mendengar hal itu. Saya bukan orang yang dibicarakan oleh para penggosip itu, tapi cukup prihatin dengan keadaan itu. Saya mencoba menempatkan diri saya sebagai gadis yang dibicarakan itu. Tanpa dibicarakan (baca: diolok) oleh orang lainpun, obisitasnya cukup membebani hatinya. Lalu coba bayangkan bila ia mendengar pembicaraan bahkan olokan arogan secara langsung? Maka bebannya akan menjadi berlipat-lipat. Dan hal itulah yang tanpa disadari oleh masyarakat kita.
Begitulah masyarakat kita sekarang, mereka akan dengan reflek memperhatikan orang lain yang mempunyai kekurangan atau kelebihan secara extrim. Kita akan dengan tanpa sadar memperhatikan orang yang sangat cantik, tampan, seksi, metrosexual, wangi, kulit putih, kulit smooth, atau berpenampilan branded. Tapi kita juga akan dengan reflek memperhatikan orang yang mempunyai kekurangan tertentu seperti orang cacat fisik, terlalu (tinggi, pendek, kurus, gemuk, hitam), albino, waria, wanita pakai cadar, atau orang yang mengenakan pakaian khas tertentu seperti pada punk, dll.
Mengapa kita masih belum benar-benar bisa menerima sebuah perbedaan? Kita masih menjadi mereka-mereka yang berbeda menjadi topik pembicaraan atau gosip. Memandang sebelah mata pada mereka.
Dari contoh-contoh yang tersebutkan diatas, ada beberapa orang yang ”berbeda” karena pilihannya sendiri seperti anak punk, atau orang yang menggunakan pakaian extrim lainnya, tapi banyak yang dikarenakan mereka memang digariskan seperti itu oleh tuhan. Seharusnya kita mulai bisa menerima mereka apa adanya, tanpa mendiskriditkan baik secara fisik maupun mental. Banyak orang yang mengaku telah benar-benar bisa menerima orang-orang ”berbeda” tersebut. Sudah mampu tak menggunjingkan atau mengosipkan dibelakang mereka. Tapi contoh nyata bahwa sebenarnya masyarakat masih memanggap ”berbeda” pada orang-orang berbeda itu dengan memberi ”pandangan aneh” saat bertemu di jalan atau dalam sebuah pertemuan tertentu.
0 komentar:
Posting Komentar